Beberapa waktu lalu Menteri keuangan Indonesia Ibu SMI mengutarakan kekhawatirannya bahwa millennials akan tidak mampu untuk membeli rumah.
Sontak saja pernyataan ibu SMI langsung disambut para marketing property. Beli sekarang sebelum besok naik!!
Kekhawatiran bu SMI membuat saya bertanya-tanya, betulkah kenaikan harga sebegitu mengerikan?
Dulu saya lama tinggal di Jakarta Utara. Pada tahun 2009 saya sekeluarga hampir saja pindah rumah. Ketika itu harga rumah saya per meter dihargai 6 jutaan. Kami pikir lumayan, karena ketika membelinya hanya seharga 3 jutaan/per meter.
Namun karena satu dan lain hal kami memutuskan tidak menjual rumah tersebut dan memilih bertahan.
Baru 4 tahun kemudian kami baru benar-benar menjual rumah tersebut, harga per meternya naik bombastis, menjadi 19 juta per meter, naik 3x lipaat!!!
Kenaikan yang luar biasa! Kalau kenaikan harga rumah setiap tahun seperti ini, tidak heran ibu SMI khawatir rumah tidak terbeli..
Tapi selanjutnya ternyata saya cek harga tanah per meter di rumah lama saya hampir tidak berubah hingga sekarang. Bahkan di daerah tinggal saya sekarang jaksel coret harga per meternya pun relatif sama.
Ini menjustifikasi data BI bahwa harga rumah memang relatif flat selama satu dekade ini paska boom property. Beberapa daerah yang berhasil dikembangkan memang berhasil naik lebih tinggi, namun secara umum harga naik hanya sebatas inflasi saja, tidak jauh dari itu.
Karena daya beli masyarakat terbatas 1 miliar ke bawah, maka bukannya harga rumah terus naik, yang ada rumah semakin kecil dan semakin jauh dari pusat kota. Secara overall kenaikan rumah hanya lah sebatas inflasi.
Tapi jangan salah, kenaikan harga rumah yang sebatas inflasi saja sudah begitu mengerikan dampaknya terhadap daya beli millennials untuk membeli rumah.
Semakin kita menunda semakin ga kebeli rumahnya.
Contoh saja pada saat awal kerja gaji kita 5 juta sebulan atau 60 juta setahun. Sementara harga rumah yang cukup ok ada pada range 1 miliar, dan biasanya berada pada lokasi pinggiran ibukota.
Harga rumah dibandingkan pendapatan selama satu tahun terdapat deficit sebesar Rp940 juta.
Melihat terlalu besarnya defisit kita memilih menunda membeli rumah. Memfokuskan berkarir bekerja rajin, membanting tulang supaya memiliki gaji yang besar.